Makalah Psikologi Wanita Keguguran

Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Bila seseorang membuat rencana, biasanya rencana itu bersifat optimis dan positif. Bagi mereka yang menginginkan anak dan ingin membentuk keluarga, masa depan yang dibayangkan adalah tentang bayi, kepuasan serta kebahagiaan, bukan rasa sakit, rasa kehilangan ataupun duka yang tak direncanakan dan tak diharapkan. Bila seorang wanita mengalami keguguran, kejadian itu membuat ia syok dan menyalahkan tubuhnya. Hal ini seringkali membuat wanita kehilangan kepercayaan baik terhadap tubuhnya maupun terhadap dirinya sendiri, disamping juga terhadap kehidupan, yang tiba-tiba menyadarkannya bahwa tidak ada kepastian dan jaminan dalam hidup ini.
Sementara keguguran secara medis seolah merupakan kejadian kecil, bagi mereka yang mengalaminya, hal itu bisa merupakan pengaruh yang meluas dan menetap. Tidak hanya menghancurkan semua harapan dan rencana yang menyertai realita tersebut.
Dibandingkan dengan abad terdahulu, kita hidup pada masa dimana standar hidup dan perawatan medis sudah maju tetapi kemajuan ini bisa membuat kita keliru dengan menduga bahwa setiap kehamilan akan membuahkan bayi cukup usia, yang sehat serta siap untuk menerima seluruh kasih sayang yang kita berikan. Akibatnya, bila kehamilan tidak berlangsung sebagaimana mestinya dan bayi tidak dilahirkan, kita akan merasa sangat ditipu. Banyak yang bahkan tidak menyadari betapa besar tumpuan harapan pada kehamilan tersebut sampai kehamilan itu berakhir secara mendadak dan menyakitkan. Setelah itu kita tidak dapat memandang diri kita atau dunia sekitar kita dengan pandangan yang sama.
Tidak dapat disangkal bahwa keguguran merupakan kejadian yang umum walaupun statistiknya bervariasi menurut saat terjadinya kehamilan. Sejumlah keguguran awal tidak disadari karena wanita yang bersangkutan menduga bahwa haidnya terlambat dan deras. Sebenarnya bila kehamilan dihitung dari saat pembuahan telur atau sperma, atau bahkan sejak saat pertemuan telur dan sperma maka tingkat keguguran akan lebih tinggi dibandingkan jika dihitung dari terlambatnya haid dan munculnya gejala-gejala kehamilan, seperti payudara yang peka atau mual di pagi hari. Dengan demikian jumlah keguguran berkisar antara 1 di antara 6 kehamilan sampai 4 di antara 6 kehamilan. Akan tetapi perkiraan yang diterima secara umum adalah 1 di antara 5 kehamilan berakhir dengan keguguran. Ini menunjukkan bahwa setiap tahun, ribuan wanita harus mengalami keguguran serta merasakan dampak fisik dan emosionalnya.
Usia kehamilan saat keguguran ternyata tidak berpengaruh pada dalamnya rasa duka dan kehilangan yang dirasakan sesudahnya. Banyak wanita yang mengatakan bahwa orang di sekitar mereka memberi simpati sesuai usia kehamilan. Mereka paling bersimpati pada keguguran saat usia kehamilan tua dan tidak terlalu bersimpati pada keguguran usia kehamilan muda. Padahal, keguguran pada kehamilan muda memiliki tingkat kedukaan yang sama dengan keguguran pada kehamilan tua. Tampaknya, rasa kehilangan ini banyak bergantung pada besarnya keterkaitan emosional dengan kehamilan itu. Bila bayi yang dikandung sangat diharapkan, maka berapapun usia kehamilan itu, keguguran akan sangat terasa.
Kenyataan bahwa keguguran sudah umum terjadi, tidak mengurangi dampak atau menghilangkan perasaan terkucil, seolah hanya wanita tersebut satu-satunya orang yang mengalaminya. Keguguran masih menjadi topik yang jarang dibicarakan. Namun jika kita mau membicarakannya, kita akan melihat betapa banyak respon yang mengatakan bahwa mereka ataupun kerabat mereka pernah mengalami keguguran. Dengan kata lain, wanita yang pernah mengalami keguguran tidak perlu merasa terkucil karena banyak orang yang mengalami trauma serupa dan mungkin bisa membantu.
Pada makalah ini saya dengan sengaja menyebut ‘keguguran’ dan bukannya ‘abortus’ seperti istilah kesehatan pada umumnya. Menurut saya kata ‘abortus/aborsi’ bisa menunjuk pada pengertian ganda yaitu keguguran yang diinginkan (disengaja) dan keguguran yang tidak disengaja. ‘Keguguran’ dirasa lebih tepat dan mengena karena hanya menunjuk pada istilah ‘yang tidak diinginkan/disengaja’.
B. Tujuan
Makalah ini dibuat dengan memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut :
1. Menampilkan kronologi terjadinya suatu keguguran
2. Memberi gambaran mengenai kondisi yang dialami wanita akibat keguguran
3. Menjelaskan mengenai hubungan keguguran dengan tahapan tertentu dari usia seorang wanita
4. Menjelaskan dampak fisik dan psikologi serta sikap yang ditampilkan oleh wanita yang mengalami keguguran
5. Menekankan pada dampak emosional yang ditimbulkan oleh peristiwa keguguran
6. Menjelaskan cara mengatasi masalah psikologis yang diakibatkan oleh keguguran dari sudut pandang kebidanan, keluarga dan lingkungan.

Bab II
Landasan Teori

Persalinan (partus) adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri).
Keguguran (abortus) adalah berakhirnya kehamilan oleh akibat-akibat tertentu pada atau sebelum kehamilan tersebut 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu hidup di luar kandungan.
A. Jenis-jenis abortus :
1. Abortus Spontan
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi dari luar untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Abortus spontan terdapat beberapa macam yaitu :
a. Abortus Imminen
Terjadi akibat perdarahan bercak yang menunjukkan ancaman terhadap kelangsungan sutau kehamilan. Kehamilan masih mungkin berlanjut atau dipertahankan.
b. Abortus Insipien
Perdarahan ringan hingga sedang dimana hasil konsepsi masih berada di kavum uteri. Kondisi ini menunjukkan bahwa proses abortus sedang berlangsung dan akan berlanjut menjadi abortus inkomplit atau abortus komplit.
c. Abortus Inkomplit
Perdarahan dimana sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri melalui kanalis servikalis.
d. Abortus Komplit
Perdarahan dimana seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkan dari kavum uteri.
e. Abortus Habitualis
Keadaan dimana pasien mengalami keguguran berturut-turut 3 kali atau lebih. Biasanya disebabkan karena kelainan ovum atau spermatozoa sehingga terjadi pembuahan yang patologis, serviks inkompeten, rhesus antagonis, kelainan anatomi rahim, malnutrisi, malfungsi plasenta dan gangguan psikologis.
2. Abortus Buatan
Abortus buatan adalah abortus yang terjadi akibat intervensi tertentu yang bertujuan untuk mengakhiri proses kehamilan (abortus provokatus). Abortus provokatus ada 2 macam yaitu abortus provokatus medisinalis dan abortus provokatus kriminalis.
3. Abortus Infeksiosa
Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai komplikasi infeksi.

4. Missed Abortion
Missed abortion adalah perdarahan disertai dengan retensi hasil konsepsi yang telah mati hingga perdarahan 8 minggu atau lebih. Biasanya diagnosis tidak dapat ditentukan hanya dalam satu kali pemeriksaan melainkan memerlukan waktu pengamatan dan pemeriksaan ulangan
B. Etiologi abortus :
1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi
Faktor penyebabnya :
a. Kelainan kromosom
b. Lingkungan di endometrium tempat implantasi kurang sempurna.
c. Pengaruh dari luar : radiasi, virus, obat-obatan dan sebagainya.
2. Gangguan sirkulasi plasenta
Biasanya terjadi pada penyakit hipertensi menahun karena oksigenasi plasenta terganggu sehingga terjadi gangguan pertumbuhan dan kematian janin.
3. Penyakit ibu
Seperti pnemoni, tifus abdominalis, pielonefritis, malaria dan penyakit lain yang dapat menyebabkan abortus.
4. Kelainan traktus genitalis
a. Kongenital anomali (hipoplasia uteri, uterus bikornis)
b. Kelainan letak uterus (retroversion uteri)
c. Mioma uteri
d. Uterus terlalu cepat regang (kehamilan ganda, mola)
Bab III
Tinjauan Kasus

Ibu X berumur 24 tahun dengan G1P0A0 sangat menikmati kehamilannya. Bahkan Ibu X mengagumi bentuk tubuhnya yang membesar di pantulan kaca etalase toko yang membuktikan kesuburannya dan bahwa ia akan menjadi ibu. Bayinya seharusnya lahir di bulan Agustus. Ketika ia sakit seperti gejala flu di bulan Mei, ia tidak khawatir kecuali ketika ia bangun dari tempat tidur dan perutnya tampak sangat membesar. Ibu X pergi ke klinik bersalin pada hari Senin untuk membuat janji dan segera dirawat untuk diobservasi. Ibu X melewatkan hari Senin sampai Sabtu dengan rasa sakit yang tak henti (pada atau diluar kehamilan tetapi ia tidak mengetahui pada saat itu). Sementara itu ukuran harian menunjukkan bahwa Ibu X terus membengkak dan ia merasa pusarnya akan meledak keluar karena tekanan dari dalam. Ibu X diberitahu bahwa karena suatu alasan, cairan ketuban berlebihan di luar kendali, oleh karenanya ukuran perut membesar dengan cepat. Dokter enggan untuk mengurangi kelebihan cairan itu karena dokter merasa bahwa tindakan itu akan memicu kelahiran. Rumah sakit memilih untuk ‘menunggu dan melihat’ perkembangan. Ibu X melewatkan seminggu berharap untuk yang terbaik dan takut untuk yang terburuk.
Semakin dini Ibu X dan keluarganya diberitahu teantang kenyataan, semakin cepat mereka menyesuaikan diri. Ibu X merasa bahwa memberi harapan palsu hanya meningkatkan perasaan tertekan pada saat harapan itu tidak terpenuhi. Usia kehamilan Ibu X sudah mencapai 27 minggu dan ia ingin bayinya selamat. Tetapi ketika itu baru tahun 1994 dan fasilitas perawatan khusus masih jarang. Ibu X menghargai perawat yng cukup jujur untuk memberitahukan bahwa kemungkinan selamat mustahil terjadi pada tahap ini dan Ibu X bisa mempercayainya karena kejujurannya. Pada hari Sabtu, Ibu X merasa sangat kesakitan. Ibu X tidak percaya ataupun hormat pada perawat yang mencoba membohongi dengan mengatakan bahwa rasa sakit yang ia alami hanyalah infeksi ginjal. Ibu X belum pernah melahirkan sehingga ia tidak tahu bahwa melahirkan bisa menimbulkan nyeri punggung. Yang Ibu X tahu bahwa menahan rasa sakit itu membuat hari Sabtunya menjadi hari paling panjang, paling sepi dan paing sakit sepanjang hidupnya.
Suami dan orangtua Ibu X datang berkunjung. Mereka merasa tidak berdaya dan memberi dukungan semampu mereka lalu pergi. Ibu X hanya sesekali bertemu perawat. Ibu X merasa ditinggal sendiri untuk mengatasi ‘infeksi ginjal’nya. Pada malam harinya, rasa sakit itu membuat segala sesuatu menjadi tidak nyata bagi Ibu X. Dalam hati, Ibu X mulai meminta maaf kepada bayinya, mengatakan bahwa Ibu X sangat menyayangi dan ingin melindunginya didalam tubuh serta berjanji untuk melawan tubuhnya sekuat mungkin. Dalam benak Ibu X, bayinya menjawab, memberitahukan bahwa ia adalah seorang anak perempuan, memberitahukan namanya, memberitahu bahwa ia sangat mengerti mengapa ia harus dilahirkan sekarang dan memberitahu agar Ibu X jangan berduka karena ia tidak membutuhkan hidup ini. Semuanya begitu jelas dan menetramkan bagi Ibu X.
Pada pukul 22.45 ketuban Ibu X pecah dan membasahi tempat tidur dengan deras. Karena air ketubannya bertambah tidak terkendali, sambil berbaring Ibu X memencet bel memanggil perawat. Rambut, pakaian dan tempat tidur basah semua. Ketika perawat dinas malam datang, ia panik melihat keadaan ibu X. Perawat itu menyuruh Ibu X duduk di tepi tempat tidur tetapi hal itu justru membuat air ketuban tumpah ke lantai bercampur dengan air dari vas bunga yang dipecahkan perawat tersebut karena kebingungan. Perawat itu malah menyuruh Ibu X duduk di kursi dan melepaskan seprai dari tempat tidur.
Karena persalinan Ibu X tidak terduga maka tidak ada persiapan termasuk dari Ibu X sendiri. Perawat tidak bisa menemukan arsip Ibu X. Perawat itu juga tidak bisa menemukan dokter Ibu X. Ibu X belum dimandikan dan diberi pencahar. Pada saat itu, Ibu X tahu ia akan melahirkan karena ia bisa merasakan kepalanya. Perawat memindahkan Ibu X ke kursi roda lalu meninggalkan Ibu X sendirian di koridor untuk mencari bantuan karena yakin bahwa bayi Ibu X akan lahir di kursi roda atau di lantai rumah sakit. Tubuh Ibu X memaksa untuk mendorong meskipun ia berusaha untuk menahan dengan sangat ketakutan.
Ketika perawat kembali, mulailah perjalanan ke ruang bersalin. Ibu X ingat wajah terkejut seorang calon ayah yang masih muda ketika melihat Ibu X didorong melewatinya dalam keadaan basah kuyup serta menggigil syok dan ketakutan.
Keadaan tidak membaik setelah sampai di ruang bersalin karena dokter memegang pisau skapel dan bertanya apakah Ibu X bersedia dilakukan episiotomi. Saat itulah Ibu X mendorong sekuat tenaga dan melahirkan anak perempuan.
Ibu X tidak pernah benar-benar menatapnya. Dalam keadaan kesakitan, Ibu X melihat sekilas anaknya sewaktu perawat-perawat menggendongnya serta membungkusnya dengan handuk lalu dilarikan untuk diberi oksigen. Pada saat itu, seorang perawat kembali dari ruang resusitasi dengan murung. Ia menjelaskan bahwa jantung bayi masih berdetak setelah dilahirkan tetapi bayi tidak pernah bisa bernafas dengan tanpa alat bantu dan tidak mungkin selamat.
Ibu X langsung mengalami syok. Bayinya telah meninggal. Ibu X merasa tidak ingin lagi berjuang hidup, Ibu X hanya ingin menyerah dan meninggal bersama bayinya.
Bab IV
Pembahasan

Dari ilustrasi kasus di bab sebelumnya, dapat dilihat bahwa Ibu X yang sangat mengharapkan kehadiran seorang bayi harus mengalami keguguran di kehamilan pertamanya. Sangat disayangkan Ibu X harus melahirkan tanpa ditemani oleh suami, keluarga atau teman-teman dekatnya. Yang paling menyedihkan lagi, Ibu X ditangani oleh perawat yang belum berkompenten dan kurang pengalaman. Pihak rumah sakit juga tidak mau berterus terang mengenai apa yang sebenarnya dihadapi oleh Ibu X. Siapapun wanita yang mengalami kejadian seperti Ibu X ini tentu akan merasa sangat terpukul dan frustasi.
Bagaimana wanita memandang kehilangan bayi mereka, tidak selalu berkaitan dengan usia kehamilan. Sebagian wanita tidak menganggap janin sebagai bayi yang sesungguhnya sampai hamil tua atau bahkan sampai bayi itu lahir. Yang lain merasa bahwa embrio yang terkecilpun adalah bayi. Wanita baru bersedih jika mereka mengganggap keguguran mereka sebagai suatu kehilangan dan sebagian wanita tidak merasa kehilangan dengan menganggap bahwa keguguran awal tidak lebih dari haid yang terlambat. Karena mereka belum membentuk keterkaitan emosional dan belum membayangkan embrio atau janin sebagai bayi, mereka bisa pulih dengan hanya sedikit pengaruh emosional. Jika mereka merasa bahwa ada yang salah dengan kehamilan mereka dan bahwa keguguran merupakan tindakan alami dan benar yang dilakukan oleh tubuh mereka maka perasaan kehilangan itu akan diminimalkan. Besarnya pengaruh keguguran bergantung pada perasaan wanita terhadap calon bayi sebelum keguguran, disamping juga bergantung pada alasan wanita hamil dan besarnya keterkaitan emosional.
A. Dampak Emosional yang diakibatkan dari peristiwa Abortus adalah :
1. Berduka
Bagi yang merasa keguguran sebagai suatu kehilangan seperti pada kasus ibu X, tentu akan berduka. Tidak ada reaksi yang benar atau salah dalam kedukaan itu, yang ada hanyalah reaksi alami. Pada saat tertentu, seorang wanita bisa mengatasinya tetapi adakalanya tidak. Proses berduka akan berlanjut dalam waktu yang lama. Seberapapun manusia mencoba untuk ‘tabah’, untuk menekan perasaan, cepat atau lambat duka itu akan muncul dan manusia harus bisa menghadapinya agar bisa pulih dan melanjutkan kehidupan berbekal pengalaman.
Kita semua adalah individu dan reaksi kita mencerminkan diri kita. Merupakan asumsi yang keliru bila kedukaan, karena mempunyai awal yang jelas, tentu akan mempunyai akhir yang jelas pula. Kita menganggap pasti akan ada waktu dimana kita bisa berkata, “Saya telah mengalaminya dan sekarang sudah usai. “ Padahal sesungguhnya kita tahu bahwa kedukaan tidak mempunyai akhir. Kita bisa belajar untuk menata dan menyesuaikan kehidupan tetapi tampaknya kedukaan , meskipun telah kita singkirkan, tetap menjadi bagian dari diri kita. Seperti yang sering dikemukakan semua wanita yang pernah mengalami keguguran, pengalaman keguguran bukanlah suatu hambatan untuk ‘diatasi’, melainkan merupakan bagian integral dari diri dan bagaimana cara mengatasi diri sendiri.
2. Mati Rasa dan Syok
Sebagaian besar orang yang secara tiba-tiba mengalami keguguran akan terlalu sibuk mengatasi trauma fisik. Sementara pengaruh emosional dibiarkan hilang dengan seiring berjalannya waktu. Menyangkut mati rasa, syok terasa membantu karena dapat bertindak sebagai anestesi. Pada saat syok itu menghilang, barulah rasa sakit hati itu dimulai. Seorang wanita mungkin akan mendapatkan obat penenang. Namun obat ini hanya menunda rasa sakit bukan menghilangkannya. Wanita yang merasa bahwa memperpanjang masa mati rasa itu bisa membantu harus ingat bahwa bahwa cepat atau lambat realita kematian bayinya harus dihadapi dan membiarkan kedukaan itu mulai. Pengaruh alkohol juga bisa membantu mematikan rasa sakit hati untuk sementara waktu, tetapi sekali lagi pengaruhnya hanya untuk sementara dan bukan solusi untuk jangka panjang. Seperti pernah diutarakan seseorang, “Saya minum untuk menenggelamkan duka saya, tetapi tidak lama kemudian kedukaan itu sudah pandai berenang.”
Respon terhadap syok dan kedukaan yang sesungguhnya cenderung berbeda-beda. Sebagian mungkin merasa sangat ingin ditemani, merasakan kenyamanan dan dukungan fisik orang lain di sekitar kita. Namun sebagian mungkin ingin menyendiri untuk sementara waktu. Emosi yang tidak rasional merupakan salah satu konsejuensi keguguran.
Bila keguguran terjadi, sebagian wanita mengalami masa singkat dimana berbaur perasaan lega dan gembira bahwa keguguran itu akhirnya usai dan mereka selamat. Namun perasaan ini seringkali diikuti oleh masa depresi berat karena kehilangan itu menjadi nyata. Kehilangan bayi melibatkan kehilangan segala kegiatan yang berhubungan dengan kelahiran.
Kekosongan umum dirasakan setelah keguguran baik secara fisik karena bayi tidak lagi berada di dalam tubuh, maupun secara emosional, yaitu perasaan mati rasa dan syok yang hanya bisa dirasakan oleh wanita itu sendiri. Bagi sebagian wanita, kekosongan ini bisa berlangsung lama. Wanita yang keguguran seolah sudah mengesampingkan sebagian dirinya yang telah disiapkan untuk menerima semua pengalaman dan kenangan yang ingin dibagi dengan anak-anak mulai dari bayi, kanak-kanak, remaja hingga dewasa. Sehingga bila bayi lahir terlalu awal dan tidak selamat, bagian diri wanita tersebut akan tetap kosong dan tidak bisa terisi kembali.
3. Rasa Tidak Percaya
Untuk sementara waktu, wanita yang mengalami keguguran tidak dapat menerima apa yang telah terjadi. Bagaimana mungkin hidup berjalan normal, bus-bus melaju, orang-orang berbelanja sementara dunianya hancur? Keinginan kembali ke waktu dimana keadaan baik-baik saja dapat teras sangat kuat. Ketika hal itu tidak terpenuhi, wanita tersebut akan merasa marah dan tidak berdaya. Wanita yang mengalami keguguran yang tidak disadari atau kerusakan sel telur harus menghadapi realita tambahan yang sebenarnya. Anggapan bahwa dirinya hamil serta merasa mempunyai hubungan yang dekat dan komunikasi, ternyata tidak pernah ada. Realisasi yang mengejutkan ini tidak mengurangi perasaan. Jika bayinya nyata maka rasa kehilangan dan kedukaan juga akan nyata.
Sebagian dari kesulitan mengatasi rasa tidak percaya ini adalah bahwa naluri alami seorang ibu tidak mati saat bayinya mati. Banyak yang merasakan kerinduan besar untuk menimang bayi yang sudah tiada (terutama bila ASI mengalir) disertai ingin melindungi bayi dari petaka. Hasrat untuk melindungi ini wajar.ungkapan klise seperti ‘keguguran adalah cara alami untuk menghilangkan janin yang rusak atau abnormal’ tidak akan menentramkan. Mendengar calon bayi disebut janin tidak sempurna dan tidak pantas hidup justru akan memperkuat naluri keibuan.
Naluri keibuan itu pula yang membuat wanita yang mengalami keguguran berat meninggalkan rumah sakit atau rumah bersalin. Wanita tersebut merasa seolah-olah ia mengkianati dan menelantarkan bayinya. Sekalipun ia tahu bahwa bayinya telah meninggal. Bila wanita menyangkal dorongan ini, hal tersebut biasanya akan muncul dalam bentuk mimpi. Itulah sebabnya mengapa sering terjadi mimpi buruk setelah keguguran.
B. Cara mengatasi dampak emosional akibat keguguran
1. Mengatasi masalah dari dalam diri
Sebagian besar wanita yang mengalami keguguran tentu akan merasa depresi. Depresi adalah kemarahan yang dipendam. Kemarahan ini cepat muncul dan hilang. Untuk mengurangi resiko depresi, mungkin sebaiknya kemarahan ini dilampiaskan dari pada disangkal atau dipendam. Banyak wanita melakukannya tanpa disadari dengan mengarahkan perasaaan mereka yang sesungguhnya pada dokter, petugas rumah sakit, wanita hamil, nasib ataupun Tuhan. Bahkan wajar untuk marah pada bayi yang seolah menolak ibunya dengan lahir terlalu awal dan pergi begitu saja tetapi dalam hal ini, wanita cenderung merasa bersalah dan menyangkal amarah tersebut.
Sementara wanita merasa malu dan bersalah karena marah, emosi ini bersifat positif karena membantu wanita tersebut mengatasi perasaan menjadi korban dan ketidakberdayaan. Kadang kemarahan terhadap dokter atau petugas kesehatan lainnya bisa dibenarkan jika penanganan yang mereka berikan tidak selayaknya atau tidak memadai. Kemarahan itu bisa menjadi motivasi untuk perbaikan mutu perawatan di kemudian hari.
Banyak wanita yang keguguran menemukan bahwa mereka marah kepada Tuhan. Sebagian menganggap keguguran sebagai penolakan Tuhan atau hukuman atas dosa yang kita lakukan di masa lalu baik secara sadar maupun tidak. Bila seorang wanita mengalami keguguran dan bayinya meninggal, ia bisa merasa marah tidak terkendali karena tidak berdaya menyelamatkan bayinya. Karena menurut agama, Tuhan adalah pemberi kehidupan maka kemarahan ini bisa ditujukan kepada Tuhan sebagai pengambil kehidupan. Tuhan bisa menerima rasa marah. Ia Maha Mengetahui. Ia tidak mengancam. Ia akan membantu kita untuk mengatasinya jika kita benar-benar jujur padaNya dan membiarkan Ia membimbing kita. Agar bisa pulih dan rasa kasih datang, manusia harus mengeluarkan sakit hati dan amarah, jangan mencoba untuk mengingkari dan menyimpannya dalam hati. Pergi ke suatu tempat yang pribadi dan berteriak, memukul bantal, menyobek-nyobek kertas dan memecahkan piring dapat digunakan untuk melampiaskan kemarahan yang bula dipendam akan menjadi semakin buruk dan meracuni diri dalam waktu yang lama. Apabila wanita tersebut tidak terbiasa melampiaskan amarah dengan cara demikian, maka ia bisa mencoba untuk melampiaskannya pada coretan lukisan atau tulisan.
Walaupun kedengarannya tidak menyenangkan, bukti menunjukkan bahwa melihat janin atau bayi yang meninggal dapat membantu pasangan suami istri menerima realita tentang apa yang sudah terjadi. Selain itu, juga dapat menghilangkan ketakutan bahwa janin atau bayi yang dikandung tersebut cacat. Pada waktu melihat jenasah bayi itu, betapapun kecilnya, seorang ibu bisa melihat bahwa ia adalah bayi yang sempurna. Banyak pasangan memilih untuk tidak melihat bayi mereka kemudian menyesali pilihan mereka. Oleh karena dengan melihat bayi yang telah meninggal itu, mereka setidaknya bisa mengucapkan selamat dating dan selamat tinggal kepada bayi mereka.
Bisa dipahami bahwa bila wanita kehilangan bayinya maka ia perlu segera mempunyai bayi lagi. Perlu diingat bahwa setiap bayi itu unik. Bayi yang baru lahir tidak mungkin dapat menggantikan bayi sebelumnya. Mempunyai bayi tidak selalu menghilangkan depresi dan membuat keadaan baik kembali. Bahkan bila duka belum hilang, hadirnya seorang bayi bisa menambah depresi seorang ibu. Selain itu meskipun pasangan suami istri menginginkan bayi, salah satu ataupun keduanya mungkin merasa bahwa mereka tiak sanggup menghadapi trauma lagi.
Dua kata kunci dakam menghadapi keguguran adalah kejujuran dan pengertian. Jujur tentang perasaan diri sendiri, pengertian terhadap perasaan orang lain. Bila hal ini diingat dan konsekuensi keguguran dihadapi bersama dengan toleransi dan kepekaan terhadap semua orang yang bersangkutan, maka keluarga tidak hanya akrab tetapi lebih kokoh dan bersatu dibanding sebelumnya.
Wanita memiliki kekuatan dalam diri mereka tetapi seringkali mereka tidak menyadarinya sampai mereka dihadapkan pada krisis atau tragedy. Wanita itu kuat. Pria bisa memikul beban fisik, tetapi wanitalah yang paling kuat memikul beban emosional.
2. Hubungan persahabatan dapat membantu mengatasi masalah emosional akibat keguguran.
Ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan seseorang yang sahabatnya baru saja mengalami keguguran. Misalnya dengan memerlihatkan kekhawatiran dan kasih sayang kepadanya, mendampingi untuk mendengarkan, membantu tugas-tugas kecil, menjaga anak yang lain atau apapun yang diperlukan saat itu.
Seringkali teman bersedia membantu, namun sama sekali tidak tahu harus bagaimana. Padahal mereka bisa saja membantu dengan cara yang praktis, dengan menyiapkan makanan, mencuci atau berbelanja. Mereka juga dapat membantu secara emosional yakni dengan membicarakan kejadian itu. Dibutuhkan teman sejati dan berani untuk melakukannya.
3. Peran bidan dalam membantu memulihkan emosi wanita yang mengalami keguguran
Salah satu realita menyakitkan yang harus diketahui oleh setiap wanita yang mengalami keguguran adalah bahwa seringkali bila terancam keguguran, sangat sedikit hal yang bisa dilakukan bidan atau penolong medis lainnya untuk mencegahnya. Ini merupakan situasi yang sulit karena wanita yang bersangkutan cenderung merasa bahwa bidan atau dokternya telah mengecewakan mereka dengan tidak melakukan apa-apa. Bidan atau dokter yang bersangkutan cenderung merasa bahwa wanita itu tidak realistis karena mengharapkan sesuatu yang tidak dapat terwujud. Dokter, bidan atau perawat dilatih untuk aktif melakukan sesutau dan keguguran seringkali menghadapkan mereka pada situasi dimana tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Keadaan ini dapat membuat frustasi dan menghancurkan hati. Jika ada tindakan yang bisa menyelamatkan kehamilan, tenaga medis tentu dengan senang hati megambil tindakan. Keguguran tidak hanya membuat stress wanita yang bersangkutan tetapi juga dokter, bidan dan petugas kesehatan lainnya. Dapat dipahami bahwa sebagian bidan dan dokter merasa perlu membuat jarak, tidak hanya untuk mempertahankan efisiensi, tetapi juga sebagai pelindung diri melawan keterlibatan sakit hati dan stress. Namun seperti halnya orang yang telah mengalami keguguran, mereka perlu menyeimbangkan kepedulian dan perhatian. Sebagian besar dokter dan bidan peduli tetapi yang dibutuhkan adalah agar pasien melihat bahwa mereka peduli.

Bab V
Penutup

A. Kesimpulan
Setelah menelaah makalah ini, penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Sebagian besar orang menganggap bahwa keguguran adalah masalah yang tidak pantas dibicarakan.
2. Penyebab keguguran adalah multifaktor.
3. Keguguran mengakibatkan luka emosional yang mendalam di hati setiap wanita yang menginginkan kehamilan.
4. Keguguran mengakibatkan rasa bersalah di hati wanita yang mengalaminya.
5. Usia kehamilan saat keguguran tidak berpengaruh pada intensitas duka yang diakibatkan oleh peristiwa keguguran.
6. Mengatasi kesedihan akibat kehilangan bayi dapat dilakukan dengan beragam cara.
7. Peran bidan atau tenaga medis lainnya sangat penting dalam membantu memulihkan mental wanita yang mengalami keguguran.
B. Saran
Setelah meneliti makalah ini kembali dan membandingkannya dengan realitas di lapangan, penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut :
1. Wanita yang baru saja mengalami keguguran perlu mendapat dukungan baik itu dari pihak keluarga, sahabat dan tenaga medis.
2. Rumah sakit atau rumah bersalin perlu meningkatkan pelayanannya untuk meminimalisasi angka keguguran dewasa ini.
3. Masyarakat perlu lebih terbuka dalam membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah keguguran.
4. Bidan sebagai tenaga kesehatan yang dekat dengan masyarakat sekitar hendaknya dapat menjadi sosok yang membantu meringankan duka wanita yang baru mengalami keguguran.

Daftar Pustaka

Murphy, Sarah. 2000. Keguguran : Apa yang Perlu Diketahui. Jakarta : Ardan
Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC
Wiknjosastro, Hanifa dkk. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Wiknjosastro, Hanifa dkk. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

0 komentar: